11 Warna Pelangi Cinta

(Alhamdulillah resensi ini dimuat di Koran Jakarta edisi Rabu, 25 Juni 2014, dengan judul Kisah-Kisah Cara Manusia Memaknai Cinta. Ini adalah versi sebelum diedit)

Judul: 11 Warna Pelangi Cinta
Penulis: Muna Sungkar, dkk
Penerbit: Sixmidad
Tahun: 2014
Halaman: 200
ISBN: 978-602-14595-6-0

Setiap orang pasti pernah merasakan cinta. Entah itu pada Tuhan, orangtua, kekasih atau teman. Namun, definisi cinta bagi tiap orang bisa berbeda sesuai dengan pengalaman cinta yang mereka lalui.

Bagi Darto, cinta monumental adalah rasa sayang yang tulus dari hati yang paling dalam pada siapa atau apa saja yang punya arti penting bagi yang dicintai (halaman 3). Sebuah peristiwa dalam hidup Darto menyadarkannya bahwa ia tak cukup mencintai Tuhan yang memberikannya kehidupan.

Sering bekerja sampai larut malam membuat Darto sakit. Badannya panas dingin menusuk tulang. Akhirnya ia dibawa ke rumah sakit dan dokter menyatakan ia terkena demam berdarah stadium berbahaya. Semua dokter menyerah karena kemungkinan sembuh hanya 50%. Saat itulah Darto merasa menyesal betapa ia jarang menyebarkan cinta pada lingkungan sekitar, jarang berterimakasih atas dunia yang indah, jarang berkumpul dengan keluarga.

Pada saat kritis itu, badannya menggigil, tulang-tulang terasa dimasukkan ke dalam balok es. Selama 15 menit ia dilanda ketakutan hebat sebelum akhirnya gigilan itu reda. Darto bersyukur akhirnya peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu berlalu. Sejak itu ia berjanji pada Tuhan untuk mencintai dan mensyukuri semua yang didapat di dunia ini, betapapun sederhananya.

Muna Sungkar mengartikan cinta sebagai tema yang mengasyikkan dan tak pernah bosan dibicarakan. Cinta membuat dunia berputar, membawa berjuta warna indah, tapi juga mengundang kesedihan bahkan peperangan (halaman 112). Cintalah yang menjadi alasan utama Muna mengarungi bumi Tuhan. Cita-cita masa kecil untuk menjelajahi tanah air satu persatu terwujud.

Tahun 2010 ia berhasil menginjakkan kaki di Pulau Weh atau biasa dikenal Kota Sabang yang merupakan pulau terluar di wilayah barat Indonesia. Disinilah terletak Tugu Km. 0 yang merupakan tugu kebanggaan Indonesia. Tugu ini adalah penanda dimulainya titik awal Indonesia di bagian barat.

Hadirnya buah hati tak menyurutkan niat Muna untuk menjelajahi bumi Tuhan. Sebagai ibu yang mencintai alam dan petualangan, Muna mengambil kesempatan ini untuk menanamkan beberapa pesan penting. Contohnya, Muna membiarkan sang buah hati, Nadia, menyentuh hijaunya dedaunan, dinginnya air sungai, dan lembutnya pasir pantai agar ia lebih mencintai alam dan lingkungan. Di usia balita, Nadia berhasil menapaki 250 anak tangga menuju puncak Kawah Bromo.

Cinta monumental bagi Siti Aisyah adalah cinta yang abadi, tak bisa pindah ke lain hati (halaman 146). Cinta Siti pada sang suami, Iwan, tak pernah berhenti walau kini Iwan sudah tiada. Siti dan Iwan sudah saling mengenal saat sekolah di SMP yang sama. Mereka bertemu lagi saat kuliah. Iwan dan Siti sering pulang sama-sama ke kampung halaman mereka di Cianjur. Semula Siti ingin menjodohkan Iwan dengan adiknya. Tapi, ternyata Iwan memilih Siti sebagai istrinya.

Setelah memiliki buah hati keempat, Iwan jatuh sakit karena paru-parunya terkena virus TBC. Padahal Iwan bukan perokok dan hasil tes kesehatannya selalu prima. Mereka sempat shock, namun akhirnya pasrah. Sembilan bulan berobat, Iwan dinyatakan sembuh. Anehnya, beberapa bulan kemudian ia dirawat kembali dengan penyakit yang sama. Dalam keadaan sakit, Iwan minta pulang ke Cianjur. Disanalah, Iwan menghembuskan nafas terakhir.

Banyak cerita cinta lainya bisa dinikmati dalam buku ini. Cinta ayah pada anak yang diwujudkan dalam ketegasan sikap, cinta pemuda pada istri yang jauh lebih tua, cinta anak pada dua ibu, dan sebagainya. Semuanya adalah kisah nyata para penulisnya.

Buku ini dapat dibaca setiap orang karena bahasanya mudah dipahami dan kadang diselingi dialog tokohnya. Covernya yang berwarna warni seperti pelangi seolah hendak menggambarkan bahwa cinta juga penuh dengan warna. Ditulis oleh 11 blogger berpengalaman, buku ini diharapkan menjadi inspirasi pembaca dalam memahami cinta.

Cinta terkadang tak perlu dicari karena sudah fitrah manusia untuk memilikinya. Mengutip kata kata Tanti Amelia di buku ini bahwa: "Kadang cinta tidak dicari. Cinta sejatilah yang menemukan jalannya." (Halaman 180).

Comments

  1. Selamaatt yaa..
    ayoo.. kiriim lagi.. :)

    ReplyDelete
  2. Jadi Cinta itu warnanya MEJIKUHIBINIU (warna pelangi) tambah 4 warna lagi biar jumlahnya 11. hehehehe

    Jadi pingin baca novelnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya pa..bagus ko ringan bukunya...ga bikin.kening berkerut

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Review Buku Iyan Bukan Anak Tengah

Giveaway Buku Republika

Review Buku "Perjuangan Si Sakit"